SEBENARNYA periode komik wayang tak pernah dikenang karena penerbit
komik waktu itu menamainya ”komik klasik”. Periode ini ditandai setelah
era jenis Sri Asih (tentu bersama Nina, Garuda Putih, Kapten Kilat),
superhero yang dianggap kurang nasionalis, mengumbar khayal, dan tuduhan
paling aneh: membuat anak-anak malas membaca. Dr Marcel Boneff, pakar
komik Indonesia yang selalu jadi rujukan, menggambarkannya sebagai du
fruit defendu, buah terlarang. Lebih buruk dari buah simalakama—masih
bisa dimakan.
Mahabrata/Bharatayudha- karya RA Kosasih
Para penerbit, terutama Melodie dan Cosmos, keduanya di Bandung, sama-sama di Jalan ABC, menghentikan manusia sekaligus dewa itu. Tokoh pahlawan beralih ke cerita rakyat, Ganesha Bangun, Loetoeng Kasaroeng, oleh komikus yang sama, R.A. Kosasih, yang kemudian menserialkan Ramayana dan Mahabharata. Juga nama sejajar sebelumnya, John Lo, serta yang melegenda, S. Ardisoma, Oerip. Pada S. Ardisoma, sapuan kuas menimbulkan suasana puitis untuk adegan keraton, adegan pohon beringin, adegan long shot, bahkan perang sekalipun. Bedanya lagi, R.A. Kosasih setia dengan ”kisah India”, sehingga tokoh punakawan tidak muncul.
Para penerbit, terutama Melodie dan Cosmos, keduanya di Bandung, sama-sama di Jalan ABC, menghentikan manusia sekaligus dewa itu. Tokoh pahlawan beralih ke cerita rakyat, Ganesha Bangun, Loetoeng Kasaroeng, oleh komikus yang sama, R.A. Kosasih, yang kemudian menserialkan Ramayana dan Mahabharata. Juga nama sejajar sebelumnya, John Lo, serta yang melegenda, S. Ardisoma, Oerip. Pada S. Ardisoma, sapuan kuas menimbulkan suasana puitis untuk adegan keraton, adegan pohon beringin, adegan long shot, bahkan perang sekalipun. Bedanya lagi, R.A. Kosasih setia dengan ”kisah India”, sehingga tokoh punakawan tidak muncul.
Sejak 1958 itu, periode yang kita namai komik wayang memberikan warna
di antara jenis-jenis yang lain, walau sebenarnya penerbit Keng Po
sudah menerbitkan Lahirnya Gatutkaca pada 1954. Sedemikian populernya
jenis wayang, sehingga Bahsjar S.J., pelukis dan ilustrator di
Medan—komik medan – Bharata Yudha, lukisan Bahzar SJ – pengarang
J Bulkanny
kota lain yang memelopori komik Indonesia—juga membuat komik wayang.
Komik dari komikus Medan sedikit berbeda dengan perkembangan di Jawa
karena biasanya lebih dulu dimuat di harian setempat. Tak mengherankan
jika komikus jawara seperti Taguan Hardjo dalam suatu saat mengisi tiga
atau empat media setiap harinya.
Menurut saya (yang tak usah diturut), ini yang menyebabkan popularitas Mahabharata panjang usia. Generasi nonpribumi—kalau istilah ini boleh dipakai—atau mereka yang hidup di kota besar pada saat itu baru ”melek wayang”. Jumlahnya cukup banyak, satu jilid bisa mencapai 30 ribu eksemplar. Dan bahan baku ceritanya juga bisa diperpanjang. Sebab, setelah kisah Astina, masih berlanjut ke Prabu Parikesit, kemudian ke Prabu Udrayana. Untuk judul terakhir ini, R.A. Kosasih, 30 tahun lalu ketika saya bertemu, membuatnya di atas kertas minyak sebagai pengganti klise, dan dengan demikian ukuran komik nanti setelah terbit berbanding satu-satu. Artinya, garis dan goresannya terlihat sangat tebal.
komik semarang : Dagelan Petruk Gareng – Indri Soedono
Ada yang mengambil babon—induk cerita—dari yang selama ini dikenali, ada yang membuat varian dari itu atau bahkan banjaran, yang bersifat biografis dari satu tokoh, ada yang menitikberatkan humor punakawan.
komik “wayang” india, terjemahan – terbitan gramedia
Komik luar negeri lebih murah harga satuannya, lebih berlimpah jumlah judulnya, lebih terarah penyebaran dan promosinya.
Namun komik Indonesia sendiri tak pernah kehilangan gairah, walau galau dan lesu darah. Masih selalu ada komik wayang yang diterbitkan dengan desain yang berbeda, dengan berwarna, dengan ”cahaya” dan ”sudut pengambilan” layaknya sebuah film, atau adegan pertarungan ala game.
Komik dan wayang agaknya memang satu. Merupakan bayang-bayang yang diekspresikan kembali dari keberadaan kita. Selama kita masih ada, selama itu pula masih ada bayangan. Dan itu adalah wayang atau komik, atau dua-duanya.
oleh: Arswendo Atmowiloto